Cukai merupakan salah satu jenis pajak tidak langsung sehingga yang membayar adalah konsumen atau pengguna akhir barang kena cukai. Cukai yang saat ini hanya dikenakan pada 3 (tiga) jenis barang yakni etil alkohol, minuman mengandung etil alkohol, dan hasil tembakau menjadikan cukai kurang dikenal masyarakat. Berbeda dengan PPh dan PPN atau pajak secara umum yang lebih dikenal masyarakat.
Pengertian cukai adalah pungutan negara yang dikenakan terhadap barang-barang tertentu yang mempunyai sifat atau karakteristik yang ditetapkan dalam Undang-Undang Cukai (barang kena cukai).
Penerimaan cukai pada hakikatnya hanya semacam konsekuensi atau ikutan dalam bentuk fiskal dari upaya pengendalian konsumsi barang kena cukai. Pengenaan cukai hanya pada barang tertentu dari produk tembakau dan alkohol, sebagai barang tradisional dikenai cukai sebagaimana di negara-negara lain disebut sebagai sistem terbatas/sempit (extremely narrow).
Dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai yang diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007 dinyatakan bahwa cukai merupakan pajak negara yang dibebankan kepada pemakai dan bersifat selektif serta perluasan pengenaannya berdasarkan sifat atau karakteristik objek cukai.
Sedangkan pengertian Barang kena cukai adalah barang-barang tertentu yang mempunyai sifat atau karakteristik yang ditetapkan dalam Undang-Undang Cukai.
Barang kena cukai dinyatakan pada pasal 2 ayat (1) sebagai barang-barang tertentu yang mempunyai karakteristik: konsumsinya perlu dikendalikan, peredarannya perlu diawasi, pemakaiannya dapat menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat atau lingkungan hidup, atau pemakaiannya perlu pembebanan pungutan negara demi keadilan dan keseimbangan, dikenai cukai berdasarkan undang-undang ini.
Barang Kena Cukai di Beberapa Negara
Banyak negara yang telah menerapkan pengenaan cukai pada barang secara lebih luas bukan hanya pada barang yang terbuat dari tembakau dan mengandung alkohol, tetapi pada banyak barang yang memberikan dampak negatif bagi kesehatan dan lingkungan, bahkan pada jasa.
Selain Indonesia, negara-negara di ASEAN telah menerapkan cukai pada barang seperti bahan bakar minyak, mobil, sepeda motor, minuman ringan, alat komunikasi, alat permainan judi, bahkan pada jasa diskotik atau kelab malam (Asean Forum on Taxation, 2016).
Sementara di beberapa negara di luar ASEAN telah mengenakan cukai terhadap banyak barang, bukan hanya pada hasil tembakau dan minuman mengandung etil alkohol. Misalkan di negara tersebut Finlandia, Perancis, Jerman, India, Jepang, dan Amerika Serikat, beberapa barang kena cukai antara lain:
Margarin, mentega, susu, minuman ringan, arloji, kamera, mobil, sepeda motor, kapal laut, pesawat terbang, kopi, teh, gula, kosmetik, parfum, perhiasan, pemanas, listrik, es krim, asam cuka, kartu permainan, tekstil, sabun, kaca, alat pendingin ruangan (AC), televisi, film, semen, logam, plastik, kayu, karet, baterai, produk bulu binatang, cat, ban, gas, air, telepon, serta jasa hotel, rumah makan, tol, sarana umum, asuransi dan travel.
EY (Ernst & Young) dalam tulisannya tentang Pajak Tidak Langsung tahun 2015, menyatakan bahwa beberapa negara belum maju malah telah menerapkan pengenaan cukai terhadap barang yang termasuk ekstensifikasi, bahkan di jenis jasa tertentu. Seperti Malawi mengenakan cukai terhadap minibus, Malta (semen, jasa telepon seluler, ban), Rwanda (pulsa telepon), Tanzania (transfer uang, furnitur, kendaraan, minuman ringan), Tunisia (marmer, granit), Ukraina (bahan bakar minyak, LNG, kendaraan bermotor).
Penerimaan Cukai di Indonesia
Dari data Kementerian Keuangan, dalam kurun waktu tahun 2012 sampai dengan 2016, penerimaan cukai yang didapatkan pemerintah rata-rata sebesar 95% dari hasil tembakau. Ini membuktikan bahwa ada semacam ketergantungan yang sangat besar pada komoditas hasil tembakau, yang dalam pengenaan tarif cukainya maksimal sebesar 57% dari harga jual eceran seperti diatur dalam pasal 5 Undang-Undang Cukai.
Proporsi cukai hasil tembakau sebesar 95% dan dibatasi tarif maksimal 57% ini dapat dikatakan sudah pada posisi jenuh untuk peningkatan penerimaan cukai. Jika dikaitkan dengan pengendalian konsumsi, maka dapat dikatakan saat ini belum sepenuhnya untuk pengendalian konsumsi secara optimal.
Oleh karena itu untuk meningkatkan penerimaan cukai dan juga pengendalian konsumsi, diperlukan perubahan batasan besaran tarif cukai di Undang-Undang dan ekstensifikasi barang kena cukai. Selain itu, perlu Kebijakan Penambahan Barang Kena Cukai yang baru.
Perubahan batasan besaran tarif cukai di Undang-Undang Cukai akan memberikan ruang yang lebih lebar bagi Pemerintah dalam menetapkan tarif cukai hasil tembakau, sementara ekstensifikasi cukai memberikan peluang dari makin banyak jenis objek barang kena cukai untuk sebaran proporsi penerimaan cukainya.
Masyarakat bahkan sebagian aparat pemerintah pusat dan daerah belum sepenuhnya paham dan sadar pada pentingnya cukai bagi kehidupan. Kemudian juga resistensi pelaku industri yang barang produksinya akan dijadikan barang kena cukai baru. Hal ini sebenarnya lebih pada kekhawatiran pelaku usaha terkait kemungkinan turunnya permintaan barang tersebut karena adanya kenaikan harga, karena yang membayar cukai tetap konsumen akhir.
Cukai dan Barang Kena Cukai