Tidak adanya itikad baik seseorang untuk membayar pajak banyak dinilai karena budaya sadar pajak masih belum “akrab” di tengah masyarakat. Membayar pajak masih dianggap sebagai kewajiban semata antara rakyat kepada negaranya atau hanya sebatas pengaman bagi penerimaan negara karena pajak adalah bagian dari sistem ekonomi negara.
Beda dengan pandangan orang-orang barat yang menganggap pajak sebagai suatu keharusan yang menyatu dengan budaya bangsa mereka.
Dengan adanya paham budaya seperti ini, para Wajib Pajak kemudian menyadari bahwa pajak adalah suatu kebutuhan. Jika tidak bayar pajak, akan terasa ada yang kurang, tidak lengkap, dan sebagainya.
Budaya Membayar Pajak
Budaya membayar pajak, menurut salah seorang Pengamat Pajak, Wiyoso Hadi, dapat mencontoh Kaum Muslim saat membayar zakat.
“Jika pajak sebagaimana dilakukan dalam pengumpulan pajak di Indonesia saat ini bisa dibuat sebagai budaya atau bagian dari gaya hidup masyarakat, maka ungkapan Schumpeter bahwa budaya pajak adalah budaya ekspresi dari spiritualitas manusia dan kreativitas dapat diwujudkan di Indonesia.”
Ahli Filsafat Islam, Haidar Bagir, bahkan mengusulkan agar Ditjen Pajak dapat memberikan penjelasan tentang fungsi sakral pajak.
Dengan demikian, pajak nantinya tidak dipandang sebagai kegiatan sekuler biasa tetapi kegiatan yang mampu membangkitkan nilai-nilai keagamaan sebagai bentuk cinta kepada negara.
Sementara dalam pandangan Romo Franz Magnis-Suseno, penarikan pajak harus dapat dirasakan adil oleh pembayarnya atau wajib pajak.
Maka, sangat disarankan untuk tidak adanya korupsi karena mulai dari pengumpulan, pendistribusian, hingga penggunaannya masyarakat tahu dengan pasti.
Jika kedua syarat ini dipenuhi maka pemerintah akan mudah membudayakan kegiatan membayar pajak kepada masyarakat luas, dan bukan sekadar mensosialisasikan kegiatan membayar pajak sebagai suatu kewajiban kepada negara saja.
Upaya Ditjen Pajak
Pajak yang belum membudaya ditunjukkan dengan target penerimaan pajak oleh pemerintah yang sering meleset. Ditjen Pajak mencatat, hanya 20 persen saja masyarakat Indonesia yang dengan sukarela mau bayar pajak, sedangkan 80 persen sisanya banyak diupayakan dengan cara ‘jemput bola’ dari otoritas pajak kepada masyarakat.
Cara yang ditempuh biasanya dengan menelepon langsung para wajib pajak. Namun, upaya ‘jemput bola’ masih terkendala dengan biaya operasional yang nyatanya tidak sebanding dengan jumlah pajak yang seharusnya diterima oleh pemerintah.
Pemerintah juga kini tengah gencar memperbaiki layanan pajak dengan sistem online untuk memudahkan masyarakat membayar pajak
Sejauh ini, Ditjen Pajak juga terkendala dengan jumlah personil yang masih belum mengimbangi jumlah penduduk Indonesia.
Jika dibandingkan, Jepang yang memiliki penduduk 120.000 jiwa memiliki petugas pajak sebanyak 60.000. Sedangkan Indonesia yang penduduknya 240.000 hanya memiliki 30.000 petugas pajak.
Oleh karena itu, jika Indonesia mau mengikuti jejak Jepang, Indonesia harus menambah 90.000 petugas pajak. Namun kemudian, sudah sejak dini Indonesia juga kekurangan petugas pajak karena jumlah lulusan akuntansi setiap tahun hanya sekitar 7.000 orang.
Selain masalah pegawai, beberapa regulasi yang ada saat ini juga perlu diperbaiki, sehingga pergerakan aparat pajak dalam melakukan kegiatannya dapat lebih fleksibel.
Menumbuhkan Budaya Bayar Pajak