Kepemimpinan masa kini lebih ditekankan pada kerjasama demokratis dan pemanduan, bukan lagi instruksi dan pengendalian. Tanggung jawab tidak saja pada pemimpin tetapi berbagi, atau tepatnya dibagi habis pada pengikut, dan banyak pemimpin sekarang menjalin kepemimpinan yang bersahabat dengan pengikutnya.
Dapatkah dibayangkan seorang pemimpin tanpa pengikut atau sebaliknya? Karena itu selain ada leadership, juga ada followership. Sukses hanya dapat dicapai melalui kerjasama dinamis antara keduanya. Kerjasama memerlukan ilmu dan ketrampilan, maka kedua belah pihak perlu mengasahnya.
Mengelola Pemimpin
Sulit bagi kita untuk menghargai dorongan dari atasan sebelum kita tahu posisi masing-masing. Kekuatan ego pemimpin berkualitas menjadikan dirinya pemimpin, kekuatan ini menjadikan dorongan yang menyebar ke arah bawahannya dan para pengikutnya perlu menterjemahkan dan mengelola sebaran dorongan ini. Ketidaktahuan pengikut atas dorongan ini membuat ia gagap, cemas, frustasi dan mungkin salah tingkah dan salah laku.
Para pengikut yang cukup memaknai dan berenergi besar menyambut dorongan, artinya cukup pengetahuan dan ketrampilan, akan mendorongkan semangat ini dan mewujudkan dalam aktivitas sesuai goal yang diimpikan pemimpin. Para pengikut yang bertanggung jawab dan efektif merupakan massa bola yang menggelinding memelihara dinamika kemitraan yang diinginkan.
Para pengikut cerdas dapat mengikuti dengan hampir tanpa kesulitan, dan sayangnya mereka juga sungkan untuk memberikan tanda atau peringatan ketika pemimpin mereka salah. Mungkin karena mengingat aturan : “Boss is always right, and if the Boss wrong, back to rule No.1”.
Kebanyakan kita dibesarkan dalam masa otoriter, apa kata orangtua harus dipatuhi tanpa pemikiran lebih rasional, maka jadilah kita para pengikut yang juga sungkan memberitahukan bahwa pemimpin telah membelok keluar tujuan. Kebanyakan kita belum membangun diri ke arah pola kepemimpinan dengan partisipasi membagi tanggung jawab.
Dalam buku The Courageous Follower, 2003, Ira Chaleff, kepemimpinan lama paradigmanya berdasar pada kekuasaan. Pemimpin adalah penguasa, ia akan memberi hadiah, bonus, kenaikan pangkat, penghargaan, promosi atas kekuasaannya mengangkat dan menurunkan martabat pengikutnya.
Mengingat kekuasaannya, para pengikut akan menghindarkan diri dari perbuatan yang tidak sesuai dengan kesukaan pemimpinnya, untuk tetap menjaga kenyamanan dirinya sendiri. Terbentuklah pengikut yang meng-‘iya’-kan setiap kehendak pemimpinnya, dan tidak akan melawan atau memberi kesan negatif dihadapan pemimpinnya.
Komunikasi berbentuk ‘asal bapak senang’, tidak efektif untuk organisasi.
Jika terbangun kemitraan pemimpin dan pengikut yang berimbang dan setara, maka terjadi pembagian tugas yang jelas antar semua komponen, dan masing-masing mempunyai orbit sendiri yang saling mendukung, saling mengisi pada titik tumpang tindih. Semua komponen menuju ke satu goal yang ditetapkan bersama, terbangunlah relasi kemitraan yang setara.
Komunikasi terbuka, jujur dan masing-masing pihak saling percaya.
Banyak pemimpin yang tidak mendapatkan asupan informasi sesuai situasi kondisi sesungguhnya dari para stafnya. Bila ini terjadi maka analisis untuk pengambilan keputusan menjadi sesuatu yang bertumpu pada ketidak benaran.
Marilah kita baca koran-koran yang terbit di Jakarta, adakah kita temukan berita yang membingungkan karena analisis dengan data yang tidak sesuai?
Manajemen Kepemimpinan Masa Kini – Oleh: Ratna Sugeng